Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
Wanita hamil tidak lepas dari dua hal:
1. Wanita itu kuat dan semangat untuk jalani puasa, tidak sulit baginya jalani puasa dan tidak membawa efek bagi janinnya, maka wajib bagi wanita hamil tersebut untuk berpuasa. Karena ketika itu tidak ada udzur baginya untuk tidak berpuasa.
2. Wanita tersebut tidak mampu dan berat jalani puasa atau badannya lemas jika jalani puasa dan sebab lainnya, maka dalam kondisi ini hendaklah ia tidak berpuasa. Apalagi jika membawa efek pada janinnya, kondisi ini juga wajib baginya untuk tidak berpuasa.
[Fatawa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/487]Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata,
Status wanita hamil dan menyusui adalah seperti orang yang sakit. Jika ia sulit jalani puasa, maka ia boleh tidak puasa, namun tetap dirinya harus mengqodho (nyaur) puasanya ketika ia mampu nantinya, statusnya seperti orang sakit. Sebagian ulama berpendapat cukup bagi wanita hamil dan menyusui mengganti puasanya dengan menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin bagi hari yang tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang tepat, tetap baginya menunaikan qodho puasa seperti musafir dan orang sakit. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (Diriwayatkan oleh yang lima)
[Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah Tata’alluq bi Arkanil Islam, hal. 171]Semarang, 8 Ramadhan 1432 H (08/08/2011)
www.rumaysho.com